Saat ini rumah bersejarah ini ditutup untuk siapapun, tapi saya justru mendapat kesempatan sangat leluasa menyusuri setiap inchi sudut-sudut rumah Inggit Garnasih dan peninggalannya saat saya berkunjung untuk menajamkan research materi skenario film sejarah yang saya buat.
Tapi selama berada di dalamnya saya tidak bisa berhenti menangis dan merinding, bahkan sekedar mengambil foto saya tidak kuasa. Saya tidak mengerti bagaimana air mata saya terus berjatuhan tidak bisa saya tahan. Dan pak Jajang Ruhiyat (yang mengurus dan merawat rumah bersejarah ini) membantu saya mengendalikan sentimental yang saya rasakan. Dia mengatakan melihat saya lewat hati nuraninya. Sambil memandang foto besar ditas kepala saya, saya bertanya ragu "Ibu.. bisakah saya melakukan ini dengan baik sampai selesai? Tolong bantu saya.."
INGGIT. Perempuan tulang punggung perjuangan. Sampai hari ini dia belum juga dianugerahi gelar pahlawan nasional. Anomali dengan perjuangan dan sumbangsih besarnya terhadap perjuangan menegakkan kemerdekaan. 68 tahun negeri ini merdeka, tapi kisah heroiknya seperti terpasung gak mampu bergaung di seantero negeri. Padahal dalam sebuah pidatonya Bung Karno pernah berkata bangsa yang besar adalah bangsa yamg menghargai jasa para pahlawannya.
Inggit Garnasih, seorang gadis cantik lahir di Banjaran dari seorang ayah dan ibu yang berprofesi sebagai guru. Dia sangat suka menancapkan setangkai bunga mawar merah segar di sangguknya sebagai konde. Itu sebabnya di halaman belakang rumahnya terdapat beberapa pohon mawar yang terawat rapi. Dia sangat pandai menjahit dan piawai membuat bedak. Yang kemudian dia jual ke pasar sebagai mata pencaharian saat sang suami ditahan Belanda di Banceuy. Ketika suaminya dipindahkan ke penjara Sukamiskin, Inggit tetap setia mendampingi perjuangan kemerdekaan bangsa. Tak banyak yang tahu Inggit menempuh jalan panjang 20 kilometer dari rumahnya menuju penjara sukamiskin demi mengantarkan serantang nasi hangat dan telor dadar kesukaan suami, juga surat-surat dan buku-buku ke balik jeruji besi. Semua itu ia lakukan sendiri bersama anaknya Ratna Djuami yang masih kecil.
Dua puluh tahun mendampingi perjuangan hingga turut dibuang ke tanah Belitung kesabaran dan ketulusannya tak pernah terkuras meski kerap Tuhan berikan ujian. Inggit seperti nama panggilannya dia cantik dari berbagai sudut mata memandang. Inghit adalah perempuan yang cantik dalam berpikir, cantik dalam bertutur, cantik dalam berjuang dia cantik hingga membuat makna cantik tak lagi soal paras dan usia.
Kepulangannya kembali ke Bandung dimaknai sebagai kepasrahan terhadap jalan Tuhan. Hingga akhir hayat hatinya tak pernah berubah hitam. Inggit tetap penuh cinta dan ketulusan. "Engkus.. jangan lupakan rakyat"
Post a Comment
Post a Comment